PP
Ini adalah pengantar untuk pameran Jakarta-Bandung PP di Dia.Lo.Gue Artspace. Seneng banget bisa ikut merespon pameran yang temanya menyenangkan ini =D
Pulang dan
pergi sama-sama diawali huruf “P”. Pada singkatannya yang konvensional –
PP – mereka dapat bertukar-tukar. Ucapan “selamat datang” dan “selamat
tinggal” yang menumpu tolakan mereka pun demikian. Ada hubungan yang
menarik antara PP alias tektok; kegiatan pulang-pergi yang biasanya
dilakukan hanya dalam satu hari.
Bandung dan
Jakarta adalah kota yang memungkinkan ke-PP-an itu. Berbondong-bondong
warga Bandung datang ke Jakarta untuk mengejar mimpinya. Sebaliknya,
warga Jakarta balik memadati Bandung untuk tidur dan bermimpi. Jarak
tempuh merupakan kesadaran pendek yang melanggengkan dongeng tak
tertulis di antara keduanya. Dan kita selalu menjadi pencerita atau yang
diceritakan dalam potongan-potongan mimpi dan kesadaran tersebut.
The fundamental things apply,
as time goes by …*
Waktu melata
sesuai hakikatnya. Kota berkembang dan bertumbuh mengikuti tuntutan
kala. Jakarta dan Bandung semakin tak bisa berdiri sendiri-sendiri,
semakin saling membutuhkan. Maka, diciptakanlah berbagai fasilitas yang
membuat keduanya kian rekat. Tol Cipularang memangkas jarak tempuh yang
direntang Puncak dan Subang. Maraknya travel
dengan berbagai pemberhentian praktis memungkinkan kita berangkat dari
mana saja dan tiba sedekat mungkin dengan tempat yang dituju.
Saya adalah
salah satu warga Bandung yang turut ambil bagian dalam kemeriahan PP
Jakarta-Bandung. Bagi saya, Bandung masih menjadi kota yang membuat saya
produktif secara tulus, sementara Jakarta adalah kota yang tahu
bagaimana mengasuh hasil produksi saya. Untuk memenuhi kedua kebutuhan
ini, ber-PP rialah saya. Karena baik Jakarta maupun Bandung merupakan
dongeng dan mimpi yang terkadang absurd, ada kalanya selintas saya
merasa ada di Bandung ketika sedang berada di Jakarta atau sebaliknya.
Tetapi dalam setiap kesadaran pendek yang direntang jarak tempuh, saya
selalu tahu dengan pasti ke kota mana saya pergi dan ke kota mana saya
selalu pulang. Sebab pada dasarnya, semirip apapun, Bandung dan Jakarta
berdegup dengan jantungnya sendiri-sendiri.
It’s still the same old story
A fight for love and glory
A case of do or die …*
A fight for love and glory
A case of do or die …*
Kendati kota,
fasilitas, bahkan jarak tempuh antara Bandung-Jakarta terus mengalami
perubahan, “pesan moral” yang disiratkan dongeng tak tertulis dari kedua
kota ini bersifat universal. Karena itulah pengalaman personal kita --
para pencerita dan yang diceritakan dalam potongan-potongan mimpi dan
kesadaran kedua kota tersebut -- sesungguhnya selalu mempunyai tautan.
Enam belas seniman
Bandung-Jakarta lintas media lintas jarak tempuh yang terkumpul dalam
pameran Jakarta-Bandung Pulang Pergi ini mencoba bercerita melalui karya
dan kesaksian pendek mereka. Masing-masing membawa kesan personal yang
bisa jadi mempunyai kemiripan dengan kesanmu sendiri. Ageng Purna Galih
dari Bandung, misalnya merasa menemukan gambaran-gambaran fiksi dalam
lintasan PP Jakarta-Bandung. Sementara Ritchie Ned Hansel dari Jakarta
melihat tarik menarik antara gemerlap kedua kota tersebut sebagai
jebakan serupa jebakan kawat nyamuk. Bagimu sendiri, apa yang menarik
dalam fenomena Jakarta-Bandung PP?
Waktu terus
melata, mungkin akan belajar berjalan, bahkan akhirnya mampu berlari.
Kebutuhan terus bertambah dan bertumbuh. Bandung dan Jakarta bisa jadi
akan semakin rekat. Lalu, masihkah kelak mereka berdegup dengan jantung
mereka sendiri-sendiri?
No matter what the future brings,
as time goes by … *
Sundea
*dicuplik dari lirik lagu As Time Goes By, soundtrack film “Casablanca”.
Komentar
Posting Komentar