Meniti Laras


 

          “Lihat, dia nggak kayak orang sakit kan?” tanya Pak Eko Pratomo sambil menunjuk istrinya, Bu Dian Syarief, dengan gerakan kepala. Aku mengarahkan pandanganku pada Bu Dian yang tengah lincah bergerak mengurus yayasannya, Syamsyi Dhuha. Lupus dan low vision tak membunuh semangat dan percaya dirinya. Melalui Bu Dian aku belajar, di dalam diri setiap kita sebetulnya ada cahaya yang bisa kita pantik sendiri.

 

          Adegan tersebut terjadi kurang lebih 15 tahun silam, ketika sebuah penerbit memintaku mendampingi Bu Dian dan Pak Eko menulis memoar mereka.

            Tidak sulit akrab dengan pasangan ini karena pembawaan mereka yang terbuka dan apa adanya.  Bu Dian adalah sososk yang lincah, riang, optimis, dan tidak rumit. Ia selalu menyampaikan isi pikirannya secara jelas dan asertif, tetapi terbuka untuk “dibantah” jika kita punya alasan masuk akal dan alternatif solusi. Pola komunikasi yang tak berlapis—termasuk di momen-momen emosionalnya—membuat bekerja sama dengan Bu Dian tidak terasa sulit untukku.

            Sementara itu, Pak Eko adalah pribadi yang lebih banyak diam dan mengamati. Beliau tidak gegabah mengungkapkan pendapat, tetapi kukenal sebagai man of his words. Ia setia pada komitmen, cermat menata sistem, dan terampil mengelola keuangan. Apa pun yang terucap dari mulutnya seperti janji dalam sebuah kontrak. Pak Eko tidak selincah dan seringan Bu Dian, tetapi karena itulah ia sanggup menjadi jangkar yang dapat diandalkan.

            Sebagai pasangan, Pak Eko dan Bu Dian adalah kontras yang nyaman. Dalam proses penulis memoar mereka di kala itu, Sunrise Serenade, aku lebih banyak berinteraksi dengan Bu Dian yang aktif dan jenaka dalam bercerita, tetapi kehadiran Pak Eko memberikan bingkai dan garis bawah pada setiap konteks pembahasan.

            Setelah Sunrise Serenade terbit, hubungan baikku dengan Bu Dian dan Pak Eko tetap berlanjut. Aku masih mengikuti perkembangan mereka dari waktu ke waktu, usaha-usaha yang mereka bangun untuk mendanai Syamsyi Dhuha karena menurut mereka sebuah yayasan sebaiknya memiliki juga pendanaan alternatif agar leluasa bergerak. Aku pun masih mengikuti kegiatan-kegiatan positif yang mereka gulirkan untuk menolong banyak orang. Bu Dian selalu bersemangat dengan ide-ide kreatifnya, sementara Pak Eko cenderung memikirkan sistem-sistem  yang masuk akal untuk membuatnya membumi.

            Agustus lalu, aku dihubungi Bu Dian untuk terlibat dalam momen syukur ulang tahun pernikahannya yang ke-35 di bulan Desember. Aku sempat membantu Pak Eko dan Bu Dian menggarap Mutiara Teruntai, buku kecil yang ditulis dalam rangka ulang tahun pernikahan mereka yang ke-30. Rencananya, mereka ingin melengkapi buku tersebut dengan tambahan pembelajaran yang didapatkan setengah dasawarsa terakhir.

            “Tiga bulan cukup?” tanya Bu Dian.

            “Tiga bulan?! Kilat juga,” sahutku agak syok.

            Aku sempat agak ragu. Namun, karena ingin memberikan sesuatu untuk Pak Eko dan Bu Dian, kuputuskan untuk mencoba.

            Menemukan bentuk yang cocok dan masuk akal untuk dikerjakan tidak mudah, sampai akhirnya kami sepakat membuat mini book dengan gaya bertutur semi dongeng. Menurutku alegori membuat kisah Pak Eko dan Bu Dian tersampaikan dengan ringan tanpa mengabaikan pesannya. Dongeng senantiasa punya cara untuk mengemas kenyataan yang kompleks dalam metafora-metafora.

            Bukan tanpa alasan aku  menggambarkan Pak Eko sebagai selo dan Bu Dian sebagai seruling. Selo bersuara rendah, sementara seruling bersuara tinggi. Jika menjadi pasangan duet, selo bertugas menjadi fondasi yang membuat musik menjejak, sementara seruling memberikan kesan lebih terang dengan nada-nada tingginya. Tanpa seruling, selo terdengar lebih berat dan sendu. Sementara tanpa selo, seruling terdengar terlalu ringan dan kosong.

            Cerita yang dibagi dalam 7 bab dan dijuduli Meniti Laras pun ada konsepnya. Tujuh merupakan jumlah nada dalam satu tangga nada yang paling umum, sementara “titi laras” adalah nama lain dari “tangga nada”. Meniti laras atau meniti nada ibarat meniti fase hidup dalam belajar menjadi pasangan. Prosesnya bisa jadi tidak mudah, tetapi tujuannya menciptakan harmoni indah. Bukankah pasangan yang mampu berjalan seiring dan langgeng disebut pasangan harmoni(s)?

            Berkesempatan menuliskan kembali kisah Bu Dian dan Pak Eko adalah suatu kehormatan yang aku hargai sepenuh hati. Aku sungguh beruntung diberi ruang sebanyak ini untuk belajar dalam prosesnya.

            Semoga Meniti Laras: Pasangan yang Belajar Menata Harmoni  sampai dengan cara terbaik kepada siapapun yang membacanya, seperti apa yang kami doakan sejak awal pembuatannya.

            Selamat ulang tahun pernikahan ke-35 untuk Pak Eko dan Bu Dian, semoga buku ini menjadi hadiah yang menghangatkan hati. 

            Selamat meniti laras dengan terus berbagi, semoga menjadi pasangan surga.

 

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea

www.salamatahari.com

@salamatahari

 






Tulisan di atas adalah Prakata buku "Meniti Laras" yang Dea tulis. Sebagai tambahan, Dea mau ngucapin terima kasih sama Karlina yang udah bikin ilustrasi selucu itu, Teh Dewi yang bikin animasi-animasiin untuk diunggah sebagai pembuat keseruang, dan Bang Aswi alias Bang Agustinus Wibowo (ternyata satu orang!) penata letak dan penyunting buku yang bikin buku ini nyaman sekali dibaca. 

Di tengah isu perceraian yang sedang marak, semoga buku ini bisa jadi angin segar yang menyamankan, ya.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In{san}ner Child

Redmiller Experience - Utopia

Indahnya Pertumbuhan dan Humanitas Baru (Dies Natalis ke-69 Unpar)