Pengantar Kumpulan Puisi Empat Cangkir Kenangan
Penerbit: Serba Indie
Ilustrasi sampul dan Tata Letak: Feransis
Tersebutlah empat pemuda dari kota yang berbeda-beda: Adimas Imanuel (Solo), Bernard Batubara (Pontianak), Esha Tegar (Padang), dan Mohammad Irfan Ramly (Ambon). Mereka adalah empat titik yang dipisahkan jarak, lalu puisi, cinta, dan kenangan, merentang sebagai garis yang menyatukan mereka. Keempat pemuda belia itu pun menjadi sudut yang membentuk bidang: sebuah buku puisi bertajuk Empat Cangkir Kenangan.
Empat sudut secara otomatis memiliki empat sudut pandang pula. Esha Tegar yang berasal dari Padang, misalnya, banyak menampilkan hutan sebagai setting. Ambil contoh dalam puisi “Lagu Puisi Api Padam”:
gelondong kayu gadang, bau getah karet,
tanah sirah, bunyi mesin pemotong yang
terus-terusan menggerung
di halaman yang menoreh namamu dengan peluh.
Aku debu tebal di jemari kipas angin, separuh diriku
masuk ke paru-paru yang pura-pura tak ingin.
Aku nampan berukir buah-buahan, apa yang
gelas kaca sangsikan meski sedia jadi tumpuan.
Aku radio tua hilang suara, nada sumbang
di telingamu yang mulai tahu selera.
Setelah menjadi kenangan, cinta bukan lagi sebuah jantung hati yang utuh. Ia menjelma bentuk-bentuk baru dengan utuh-tidak yang relatif. Seluruh indera menjaga jejaknya. Dan puisi seringkali dipilih sebagai media untuk mengenali jejak-jejak itu.
Keempat pemuda yang usianya belum sampai tiga puluh tahun ini, mempersembahkan karya mereka. Cinta, puisi, dan kenangan adalah garis yang menghubungkan ungkapan mereka sebagai sebuah bidang. Di atasnya terhidang empat cangkir pengalaman personal dengan cita rasa universal.
Akhir kata, sesaplah empat cangkir kenangan yang terhidang di hadapanmu ini.
Temukan tunggal dalam empat, nikmati tinggal dalam hangat …
Komentar
Posting Komentar