Hakuna MATA-ta It Means No Worry*
Dimuat di Far Magazine edisi 17 (Desember 2011) "Character Issue"
=========================================================
Pada
suatu hari, di antara berbagai suara yang terpantul-pantul di tengah
acara Hari Pengelihatan Sedunia yang jatuh di bulan November, telinga
saya menangkap sebuah lagu. Meski tak sekuat suara-suara lain yang
berputar-putar lebih dekat dengan saya, lagu itu tidak tertelan.
Sebaliknya, sayalah yang tersedot untuk mendengarkan lagu tersebut lebih
saksama. Kira-kira seperti ini cuplikan liriknya, “Light
up the world with the ray of our heart, let us start what we want to
share. Don’t give up, although in the dark show the world we can go on
…”
Saya tersenyum. Lirik yang memotivasi, vokal powerful,
dan musik yang penuh semangat meniupkan nyawa di lagu tersebut.
Ternyata lagu itu memang diciptakan dan dinyanyikan oleh seorang
peyandang tuna netra – sebut saja Ninda dan diaransemen oleh sang suami
yang juga tuna netra – sebut saja Heru. Judul lagu tersebut, “Light Up
the World with the Ray of Our Heart”, disumbangkan oleh sebut saja Ibu
Dina, seorang penyandang low vision yang juga mendirikan yayasan Syamsi Dhuha (matahari pagi), sebuah yayasan bagi penyandang lupus (sebuah penyakit autoimun) dan low vision.
Kekuatan kata-kata
Akibat
diberi dosis kortekosteroid (obat lupus) yang terlalu tinggi, pada
tahun 1999 Ibu Dina mengalami abses otak. Abses otak tersebut merenggut
sembilan puluh lima persen fungsi pengelihatannya. Ibu Dina lalu
berkeliling dari satu dokter ke dokter lainnya, berharap ada yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki fungsi pengelihatannya. Tetapi hampir semua
dokter menanggapi dengan pesimis, “Syaraf mata Anda sudah pucat. Fungsi
pengelihatan Anda tinggal lima persen”
Sampai
pada suatu ketika Ibu Dina bertemu dengan seorang dokter mata anak-anak
– sebut saja dokter Nini. Sejak awal dokter Nini memberi asupan
kata-kata positif kepada Ibu Dina:
“Kamu masih punya
fungsi pengelihatan sebanyak lima persen, kok. Coba kita lihat apa yang
bisa kamu lakukan dengan fungsi pengelihatan ini …”
“Kamu masih bisa membaca, kok. Hanya saja, huruf yang kamu lihat harus lebih besar …”
“Sesedikit apapun jumlahnya, cahaya yang masuk ke mata kamu pasti punya pengaruh.”
“Mulai
sekarang, setiap berbicara dengan orang lain, buat seakan kamu bisa
melihat mereka dengan jelas. Tatap mereka dengan sungguh-sungguh. Ikuti
gerak mereka dengan bola mata kamu. Perlakukan mata kamu seakan-akan dia
sehat-sehat saja”.
Seperti
doa, kata-kata yang diucapkan berulang-ulang membangun keyakinan dan
mengantarkan keajaiban. Beberapa waktu kemudian, tanpa dapat dijelaskan
secara medis, fungsi pengelihatan Ibu Dina bertambah hingga lima belas
persen. “Buat orang lain, fungsi pengelihatan lima belas persen mungkin
nggak ada artinya. Tapi buat aku artinya besar,” cerita Ibu Dina.
Memaksimalkan Apa yang Dimiliki
Sebut
saja Pak Budi. Ia adalah penyandang tuna netra, dokter, dan Ketua
Persatuan Tuna Netra Indonesia. Kemampuannya mengutak-atik gadget sungguh luar biasa. Dia kerap memasangkan program piranti lunak pembaca layar (JAWS, Job Access with Speech) dan piranti lunak aplikasi yang berfungsi membacakan sms yang masuk (SMS Talks) untuk teman-teman tuna netra dan low vision.
Jika ditanya bagaimana dia melakukan semua itu tanpa melihat,
jawabannya sederhana saja, “Saya kan cuma nggak bisa melihat. Yang
lainnya saya bisa.”
Ayah
Ibu Dina pernah berkata, “Ketika ada sesuatu yang hilang dari tubuh
kita, akan ada sel lain yang menggantikan fungsinya. Kamu akan melihat
dengan kulit, dengan pendengaran, dengan penciuman.”
Semua
itu benar adanya. Jika diberi kesempatan dan diberi kepercayaan, tubuh
pasti mencari keseimbangan dan keadilan dengan caranya sendiri. Meski
tak dapat melihat, Ninda dan Heru misalnya dianugerahi kepekaan
mendengar musik yang luar biasa. Di dalam permainan menyusun gambar yang
diadakan pada suatu Hari Pengelihatan Sedunia, para penyandang tuna
netra pun ternyata lebih terampil menyusun gambar ketimbang penyandang low vision yang masih punya sisa pengelihatan beberapa persen.
Orientasi
Mobilitas adalah kemampuan menggunakan indera-indera yang masih
berfungsi untuk mengenali ruang dan melakukan perpindahan dari satu
tempat ke tempat yang lain. Salah satu alat bantu yang paling umum
digunakan dalam orientasi mobilitas adalah tongkat putih. Tongkat
tersebut dapat dilipat empat agar praktis dibawa-bawa. Ia menjadi
semacam kaki yang mendahului langkah sahabat low vision dan tuna netra. Ia diayunkan membentuk busur untuk “melihat” apa yang ada di hadapan sahabat low vision dan tuna netra ketika berjalan.
“Our creator designed beyond our mind. Ia tidak mengambil tanpa menggantikan dengan yang lebih baik,” ungkap Ibu Dina sambil tersenyum optimis.
Wind Beneath Their Wings
Teman-teman,
pernahkah kamu berpikir serunya menjadi angin yang bertiup di belakang
sayap? Pernahkah kamu menyadari pentingnya arti si angin bagi
keseimbangan sayap? Hal kecil yang kamu lakukan dapat berarti banyak
sekali.
“Saya bisa sampai seperti ini juga karena sahabat saya,” ungkap Pak Budi.
Tidak
semua buku diterjemahkan ke dalam huruf braille. Beruntung Pak Budi
mempunyai sahabat yang setia membacakan buku-buku yang tidak
diterjemahkan ke dalam huruf braille untuk Pak Budi. Bagi kita yang
bermata awas, sekedar membacakan teks bukan sesuatu yang sulit. Tapi
dapatkah kamu bayangkan besarnya arti “dibacakan” bagi Pak Budi? Jika
kamu menyayangi matamu, ajari mereka menjadi mata yang baik seperti mata
sahabat Pak Budi. Kelak, matamu jadi tahu cara membangun mata rantai
kebaikan dan melihat dengan mata hati.
Lagu “Light Up the World with the Ray of Our Heart” sampai di penghujungnya,
“Through
the touch we can find the love. And be loved everyone. I believe the
sun will always shine for us, through happiness in our life …”
Kita kerap takut pada kegelapan karena karena pada dasarnya kita takut pada hal-hal yang tidak kita ketahui.
Tetapi jika teman-teman low vision dan
tuna netra dapat melihat dengan mengecap, medengar, mencium, dan meraba
cahaya, apa yang mereka tak ketahui lantas perlu takuti?
Sundea
www.salamatahari.com
Komentar
Posting Komentar