Refracted Light
Tulisan ini dibuat sebagai pengantar art project "Refracted Light" -nya Herra Pahlasari di
pameran Flight for Light - Indonesian Art and Religiosity. Meskipun
akhirnya pengantar ini nggak jadi dipake, art projectnya jadi, kok. Bisa
diliat di Art:1 Gallery Jln. Rajawali Selatan Raya no.3, Jakarta dari
tanggal 29 Oktober - 29 Januari 2011.
“Sinarmu memberi harapan yang bersahaja …”
-Lukisan Pagi, Tohpati-
Pada
suatu pagi, sinar matahari jatuh ke sungai yang mengalir. Meski tampak
tidak sengaja, berkas cahaya tahu apa yang dipilihnya. Biasnya menimpa
perahu-perahu kertas yang sedang berenang menuju lautan. Di dalam setiap
perahu, tercatat doa dan harapan anak-anak yang bersahaja namun utuh
dalam meyakini.
Sungai
bukan kereta api yang melintasi trayek yang dikonstruksi. Ia mengalir
seperti tak tentu, namun sesungguhnya punya cara sendiri mengenali jalan
menuju lautnya. Ke manapun ia bertualang, ada alur yang selalu
menuntunnya sampai ke laut. Secara alami sungai adalah bagian dari laut.
Berbeda dengan kereta api yang sengaja dibuat menjadi bagian dari rel
dan stasiun untuk mencapai sebuah tujuan.
Agama
dan religiositas seperti sungai dan kereta api. Keduanya berperjalanan
menuju apa yang dipercaya sebagai kebaikan, namun menempuh jalan yang
berbeda secara esensial. Agama melintasi aturan-aturan yang dikukuhkan
dalam lembaga, sementara religiositas melintasi hal-hal personal yang
melampaui realitas. Agama mudah dipolitisasi, tetapi religiositas tidak.
Anak-anak
adalah makhluk yang dekat dengan religiositas. Mereka yang dipenuhi
mimpi, harapan, dan keyakinan, bersentuh dengan Tuhan secara personal.
Mereka menyampaikan isi hati mereka secara tulus dan lugu. Mereka tidak
takut mengharapkan apa saja dan tidak khawatir pada apa yang akan mereka
temui sepanjang jalan. Seperti sungai yang menaruh rasa percaya pada
lautan, demikian pula mereka menaruh rasa percaya pada harapan.
Perahu-perahu kertas dalam art project “Refracted
Light” ini mewakili harapan anak-anak yang bertebaran di sekitar kita.
“Harapan atau cita-cita mereka adalah bias cahaya masa depan, ibarat
lampu yang menerangi aktivitas di dalam ruangan. Mereka adalah cahaya
terbesar kehidupan kita yang mulai redup. Apa yang terlihat dari mereka
adalah cerminan kita di masa kecil,” ungkap Herra Pahlasari.
Pada
masa bom atom Hiroshima di tahun 1945, seorang gadis kecil bernama
Sadako Sasaki menitipkan harapannya pada sayap seribu burung kertas yang
dilipatnya dengan tekun dan sungguh-sungguh. “I will write peace in your wings and you will fly all over the world,” tulis Sadako Sasaki.
Mengadaptasi
kisah itu, Herra Pahlasari mengajak anak-anak dari beberapa sekolah,
anak-anak pemulung, dan anak-anak yang ditemuinya sepanjang perjalanan
mengerjakan proyek ini, melipat seribu buah perahu kertas yang
melambangkan bahtera. Doa dan harapan anak-anak menjadi awaknya. “Saya
percaya pengumpulan harapan dan cita-cita ini menjadi representasi akan
sesuatu yang lebih solid di luar sana,” ungkap Herra. Ada benang merah –
sesuatu yang halus dan dinamis seperti religiositas itu sendiri – yang
menghubungkan perahu-perahu kertas tersebut.
Karena
religiositas melampaui realitas, mari kita bermain seperti anak-anak.
Amati perahu-perahu kertas ini dan bayangkan sungai yang mengantar
mereka menuju lautan. Tiupkan doamu sendiri untuk mendorong mereka.
Percayalah. Harapan-harapan kecil yang ditekuni dengan setia akan
menjadi besar dan membawa kebaikan bagi dunia.
Cahaya
membias menimpa perahu-perahu kertas yang sedang berenang menuju
lautan. Membawa doa-doa dan harapan. Harapan selalu berdiri atas
kerendahhatian yang bersahaja. Dan sesungguhnya, setiap harapan pasti
cerlang dan bersinar seperti bintang dan mata anak-anak.
Sundea,
seorang teman yang ikut mempercayai harapan
Komentar
Posting Komentar