Seni di Bawah Ancaman Sapu Lidi
"Tobucil Minggu Ini" edisi 9 Maret 2009
=====================================================
-Tobucil, Jumat 6 Maret 2009-
Diskusi sore “Arts Under Pressure”
“Pakai
sapu lidi aja supaya nggak ujan,”saran Pak Rowi, petugas kantor pajak.
“Emang apa hubungannya ?” tanya Wiku, koordinator Klabs yang sedang
sibuk mempersiapkan diskusi. “Nggak tau, tapi pawang Persib kan suka
bawa-bawa sapu lidi di pojokan kalo Persib main,” sahut Pak Rowi.
Hari itu, Tobucil mendapat kehormatan. Joost Smiers, penulis buku Arts Under Pressure dan
Professor Ilmu Politik Seni dari Utrecht School of The Arts, berkunjung
ke Tobucil untuk membagi ilmunya. “Moga-moga aja nggak ujan. Kalo ujan
gandeng (ribut), entar nggak kedengeran suaranya,” harap Mbak Tarlen.
Entah
karena sapu lidi atau bukan, hari itu hujan hadir secara aneh. Langit
cerah ceria tanpa awan hitam. Arinya merintik-rintik seperti berbisik,
lalu berhenti. Deras sebentar, lalu berhenti lagi. Yang pasti, suaranya
tak mengganggu jalannya diskusi.
Di
tengah cuaca aneh hari itu, Joost Smiers membagi keprihatinannya
terhadap dominasi pasar yang menyeragamkan budaya. Dengan provokatif, ia
bahkan mendukung penghapusan hak cipta. “Hak cipta lebih berkaitan
dengan kontrol. Ia melindungi konglomerasi budaya untuk mendominasi
pasar, bukan melindungi si seniman,” ungkap Smiers. Pandangan ini
diamini oleh dua pembicara lainnya, Mohammad Syafari Firdaus (pengamat
sastra dan pembuat film) dan Endo Suanda (budayawan). “Saya percaya pada
statement Albert Camus, ‘kita selalu berkarya dalam bahaya’,” begitu
Mas Dauz menanggapi, “Hak cipta kadang membuat sebuah karya tidak bebas
didistribusi oleh senimannya sendiri. Padahal semangat kami (seniman)
adalah semangat untuk berbagi.”
Joost
Smiers memandang perkembangan internet dan digitalisasi sebagai
alternatif yang baik. Menurutnya internet dan digitalisasi membuat karya
tidak bersifat “jadi” dan punya kemungkinan untuk terus berkembang dan
didistribusikan. Di dalam bukunya (halaman 328-329), Smiers berbicara
mengenai “creative commons”, kondisi ketika seseorang melempar karya
yang dapat terus diolah selama tidak dijadikan milik pribadi
(dipatenkan). Dengan demikian, karya tersebut tunduk pada satu hak cipta
yang “kosong”, pada sebuah lisensi publik. “Seharusnya demokrasi
sendiri yang melindungi keberagaman budaya, bukan kapitalis. Dibutuhkan
tumbuhnya kepentingan individu untuk menentukan hidup bersama,” kata
Smiers.
“Sangat
provokatif, Joost, kamu bahkan memprovokasi cuaca,” ujar Mas Heru
Hikayat, moderator diskusi hari itu, sambil memandangi langit cerah. Hmm… sebetulnya siapa yang memprovokasi cuaca? Joost Smiers atau
seseorang bersapu lidi di sebuah pojok rahasia ?
Sapu
lidi yang diangkat di depan anak-anak kadang merupakan kata lain dari,
“Ayo mandi! Kalau tidak sapu ini akan memukulmu!” atau “Ayo belajar!
Kalau tidak sapu ini akan memukulmu!” Jangan-jangan sapu lidi yang
diangkat untuk menangkal hujan pun bermakna sama, “Ayo cerah! Kalau
tidak sapu ini akan memukulmu!” Lalu cuaca pun menjadi “bright under
pressure”.
Tobuciler
memperhatikan Joost, cuaca, lalu tersenyum sendiri. Pada akhirnya
Tobuciler memilih percaya, cuaca mengambil keputusan karena memahami
makna demokrasi dan menentukan hidup bersama. Kebaikan yang ingin
dibagikan Joost pasti sampai dengan tepat. Tanpa sapu lidi.
Sundea
Komentar
Posting Komentar