Menulis Cerpen
Dimuat di KaWanku no. 26.2006 26 Juni - 2 Juli 2006
=====================================
Bella
gadis yang sangat cantik. Dia mempunyai rambut bak mayang terurai,
kulit sehalus pualam, dan mata seindah bintang di langit.
Ah! Kok biasa banget, sih? Ungkapan ini sudah terlalu sering dipakai. Memangnya enggak ada ungkapan lain yang lebih fresh? batin saya sambil menghapus kalimat yang baru saya ketik. Apa, ya? Saya menatap langit-langit kamar. Mmmm... coba kalau…
Bella gadis yang sangat cantik. Dia secantik bidadari-bidadari khayangan.
Ini juga terlalu biasa. Lagi pula, siapa, sih, yang tahu tampang bidadari khayangan? Lagi-lagi saya menghapus kalimat yang baru saya ketik.
Bella gadis yang sangat cantik. Dia secantik es campur di depan rumahku.
Saya tersenyum. Sebetulnya inilah ungkapan yang paling pas. Sayangnya ungkapan ini terlalu personal, terlalu saya.
Di
depan rumah saya berdiri warung es campur Bu Dadang. Es campur di sana enaaak sekali. Bu Dadang tak pernah pelit-pelit menggunungi gelas es
campur dengan buah-buahan, es serut, dan susu. Sepulang sekolah, setelah
menempuh perjalanan yang diiringi matahari, saya seringkali mampir ke
sana untuk membeli segelas es campur dan duduk-duduk sebentar.
Es
campur Bu Dadang selalu dihidangkan di mangkuk biru bening yang
kelihatan segar seperti air kolam renang. Gundukan esnya berwarna rona
merah muda – merah sirup yang merona karena disiram susu dan ditaburi
irisan kelapa muda. Buah-buahan pada es campur Bu Dadang selalu segar. Ada nanas dan nangka yang sekuning matahari pagi serta alpukat yang sehijau
daun yang baru disiram. Ada pula pacar cina yang imut-imut, serta
kolang kaling dan cincau yang selalu nampak mengkilat. Ketika saya meminumnya... hmmm... saya tidak punya kalimat
yang dapat menggambarkan nikmatnya es campur Bu Dadang.
Menurut
saya di dunia ini cuma ada satu manusia saja yang bisa menyamai
cantiknya es campur Bu Dadang. Kak Nadia. Bagi saya, kakak perempuan
saya itu adalah es campur Bu Dadang yang memanusia. Kulitnya rona merah
muda, matanya jernih seperti cincau dan kolang-kaling, tawanya segar
seperti buah-buahan, dan tubuhnya imut-imut seperti pacar cina. Kak
Nadia baik hati dan sahaja. Kebaikan dan kesahajaannya itu membuat adem
siapapun yang ada di sekitarnya, sama seperti es campur Bu Dadang yang
diminum di siang bolong.
Bella gadis yang sangat cantik. Dia cantik seperti Kak Nadia.
Saya
membaca kalimat yang baru saya tulis. “Ini lebih jelek lagi daripada yang
tadi-tadi,” gerutu saya. Memangnya semua orang kenal kakak saya, apa?
Lagi pula nama Nadia tersebar di mana-mana. Pasti ada juga Nadia
lain yang buruk dan jahat. Kalau orang-orang salah acuan, bisa kacau
gambaran “Bella” yang ingin saya sampaikan
Kembali
saya merenung, mencari kalimat yang cocok. Pikiran saya melayang-layang
padak Kak Nadia, mencoba memindahkan kecantikannya dalam kata-kata.
Bella gadis yang sangat cantik. Dia
Namun
lalu buram. Ketika saya mencoba memeras ingatan untuk memperoleh
sebentuk Kak Nadia utuh, yang segar seperti es campur Bu Dadang, saya
kehilangan jejak. Kak Nadia yang hadir dalam kepala saya saat itu adalah
Kak Nadia yang lain. Kak Nadia yang empat hari ini baru mulai saya
kenal. Ingatan saya lalu mundur empat hari, saat Ayah, Bunda, dan saya
menjemput Kak Nadia di stasiun.
Sepulang
dari Jakarta, setelah sekitar setahun bekerja di sana, Kak Nadia
kehilangan keescampurannya. Kulitnya mengeriput, matanya mengantung, dan
bibirnya memucat. Kak Nadia menyelamatkan layu look itu dengan make-up dan pakaian serba gaya. Otomatis kesahajaannya tanggal.
Sepanjang
perjalanan menuju rumah, Kak Nadia diam saja. Sama sekali tak terdengar
tawanya yang memecah panas matahari. Mungkin dia memang capek sekali.
Saya mencoba memaklumi.
Namun,
ternyata pagi berikutnya tak membunuh kelelahan di wajah Kak Nadia.
Juga pagi berikutnya lagi. Kak Nadia mengabuti dirinya dengan asap
rokok; melapisi diri dengan make-up yang berwujud maupun yang tak. Kak Nadia jadi tak tersentuh. Dia maya seperti teman baru dari internet.
“Sarah… Sar,”
tiba-tiba pintu kamar saya diketuk.
“Masuk, Kak,” sahut saya.
Kak Nadia masuk dengan sebatang rokok di sela jarinya. “Kata Bunda jam empat kamu ada presentasi bahasa Inggris di tempat les. Mandi, gih, cepetan,” suruh Kak Nadia.
“Iya, Kak, sebentar lagi,” sahut saya.
“Kamu sudah siap presentasi?” tanya Kak Nadia sambil duduk di kasur tempat tidur saya. “Lumayan. Sarah udah sempat latihan, hafal vocab, terus baca buk…”
“No, no. I mean, kamu sudah tahu mau pakai baju apa?” Kak Nadia memotong kalimat saya. Hah? Baju?
“Masuk, Kak,” sahut saya.
Kak Nadia masuk dengan sebatang rokok di sela jarinya. “Kata Bunda jam empat kamu ada presentasi bahasa Inggris di tempat les. Mandi, gih, cepetan,” suruh Kak Nadia.
“Iya, Kak, sebentar lagi,” sahut saya.
“Kamu sudah siap presentasi?” tanya Kak Nadia sambil duduk di kasur tempat tidur saya. “Lumayan. Sarah udah sempat latihan, hafal vocab, terus baca buk…”
“No, no. I mean, kamu sudah tahu mau pakai baju apa?” Kak Nadia memotong kalimat saya. Hah? Baju?
“Yah… bi…asa aja, celana jin sama kaus.”
“Jangan kaus, dong.”
“Ya sudah, kemeja.”
“Yang mana?”
“Belom tahu, palingan yang biru muda itu, yang masih digantung.”
“Itu? Begitu doang?”
“Habis…?”
Kak
Nadia menjepit rokoknya dengan bibir, bangkit berdiri, kemudian membuka
lemari pakaian saya. Setelah meneliti setiap lembar pakaian yang ada di
sana, dia mengambil sebuah kemeja coklat muda dengan tali pink di bagian lengan. “Bawahannya nanti pinjam punya Kakak, Kakak punya rok yang matching banget sama kemeja ini. Kamu juga harus pake make-up,
minimalis aja, cuma biar kamu enggak terlalu pucat,” ujar Kak Nadia
sambil meletakkan kemeja itu di tempat tidur saya. “Sarah mau presentasi
Bahasa Inggris, bukan mau jadi mc ulangtahun,” protes saya dengan wajah ditekuk. “Eh, Sar, apa yang kamu pakai penting untuk kasih esan. Kalau performance kamu
enggak oke, presentasi kamu enggak bakal ada artinya,” ujar Kak Nadia
sambil membuang abu rokoknya ke luar jendela. “Enggak juga,” bantah
saya. “Enggak dari mana? Dengar, ya, waktu tampil oke, kamu dapat satu
point, orang akan langsung see you as someone meskipun
presentasi kamu enggak sempurna. Sebaliknya. Biarpun presentasi kamu
bagus banget, kalau tampilan kamu biasa, nilai kamu juga bakal
biasa-biasa aja,” sembur Kak Nadia. Mata saya berkaca dan bibir saya
bergetar, “enggak,” saya masih membantah dengan suara tercekat. Saya
ingin bicara banyak, tapi kata-kata meninggalkan saya. Diserang rasa dan
dikhianati kata adalah kondisi yang paling tak enak. “Ck. Ya ampun,
Sarah, masa’ gitu aja nangis, sih? Kayak anak kecil. Kakak sudah setahun
kerja di Jakarta, jadi Kakak lebih tau soal begini. Kakak cuma mau bantu
kamu, kalau kamu enggak mau ya sudah, Kakak keluar,” kata Kak Nadia
sambil mematikan rokoknya di tutup tempat sampah saya. “Oh, iya, di meja
makan ada es campur Bu Dadang. Buruan diminum, entar keburu cair,”
kemudian Kak Nadia berbalik. Meninggalkan kamar. Meninggalkan saya.
Meninggalkan sisa dirinya yang pernah menyamankan saya. Sejak saat itu
saya sadar Kak Nadia yang baru telah menelan Kak Nadia yang lama. Saya
harus mulai berkenalan lagi.
Kembali saya menatap layar komputer, menekan keyboard penuh emosi untuk mengetik:
Bella gadis yang sangat cantik. Dia tahu apa yang harus dia pakai ketika presentasi Bahasa Inggris.
Saya meng-klik gambar disket pada toolbar lalu pergi ke ruang makan.
“Esnya
sudah cair banget, Sar, kayaknya enggak terlalu enak lagi,” kata Kak
Nadia begitu saya muncul di ruang makan. Saya menarik kursi meja makan
kemudian duduk menghadap es campur Bu Dadang. Dengan seksama saya
mengamati wajah es campur tersebut. “Sudah tidak cantik,” saya menilai
dalam hati. Gundukan esnya sudah leleh, membuat isi mangkuk meluber ke
meja makan, menggenang, dan mulai disemuti.
Hati-hati
saya menyendok es campur Bu Dadang dan menyuapkannya ke mulut. Sudah
tidak dingin dan tidak manis. Buahnya pun sudah layu dan lembek. Saya
diam beberapa jenak. Setelah menelan cairan hambar dan buah layu itu,
justru mendadak maaf dan kasih memenuhi diri saya. Es campur di meja
makan memang bukan lagi es campur yang sejuk dan melegakan, tetapi
wujudnya yang baru itu ternyata dapat menyirnakan marah saya. Saya sadar
bukan salah Kak Nadia kalau dia meleleh. Panas Jakarta punya kuasa penuh
untuk mencairkan es manapun. Kak Nadia bahkan termasuk kuat. Dia hanya
meleleh. Waktu setahun tak membuatnya sampai menguap.
“Tadi
kamu marah banget, ya, Sar?” tanya Kak Nadia sambil duduk di hadapan
saya. Dia mencoba menangkap mata saya. “Enggak,” sahut saya. “Betul?”
Kak Nadia mencoba memastikan. Saya mengangkat wajah saya. Untuk
membuktikannya, saya biarkan mata saya ditangkap Kak Nadia.
Komentar
Posting Komentar