Cakrawala
Dimua di KaWanku No. 19/XXX 30 Oktober-5 November 2000, aku masih SMU.
=============================================
“Ssst…lihat si Cakra, deh. Bodi gede kayak gitu bacaannya Donal Bebek,” Ifa teman sebangkuku menyikutku. Aku yang sedang makan kripik pedas menoleh sebentar ke bangku paling belakang tempat Cakrawala, murid paling aneh di sekolah kami duduk.
“Ah, dia mah memang aneh,” tanggapku tidak heran.
“Gue sebel, lho, sama dia. Sok keren!”cerocos Ifa.
“Huahahaha,” tiba-tiba tawa Cakra meledak. Nasi di mulutnya melompat keluar. Dengan cuek Cakra mengumpulkan nasi-nasi yang berserakan di mejanya dan membuangnya ke tempat sampah. Dia sama sekali tidak peduli pada anak-anak di kelas yang menatapnya heran dan sebal.
“Kan, lihat saja. Itu anak enggak punya kepekaan sosial sama sekali. Gue tau Donal Bebek ceritanya suka lucu. Tapi dia. kan, enggak usah begitu-begitu amat,”komentar Ifa sengit. Aku menanggapinya dengan anggukan setuju.
Cakrawala memang aneh. Dia tidak pernah punya teman. Setiap hari ia membawa termos air dan bekal ke sekolah. Rambutnya agak gondrong dan berantakan, badannya tinggi besar, tetapi kacamata selebar tatakan gelas yang setiap hari bertengger di hidungnya membuat dia berkesan gedong… gede dongo. Katanya Cakra sudah “tua”. Umurnya sudah 18 tahun, tapi masih duduk di kelas dua SMU.
Aku, dan mungkin juga semua anak di SMU kami, tidak suka pada Cakra. Anehnya kelihatannya Cakra tidak peduli dibenci siapapun. Dia terlalu mandiri dan angkuh.
Aku sendiri punya teman-teman yang menyenangkan. Aku tak akan tahan menjadi sesendiri Cakra.
“Cakra, kan rada kurang satu strip. Makanya bisa enggak naik kelas tiga kali,”kata Ifa lagi.
“Oh, ya?”tanyaku.
“He-eh. Malah dia pernah di D.O saking begonya,” lanjut Ifa penuh semangat.
Aku mengangguk-angguk.
Dua minggu kemudian aku divonis terkena thypus. Terpaksa aku istirahat di rumah selama sebulan lebih. Sengaja perihal sakitku tidak dikabarkan ke teman-teman, soalnya menurut Ibu, aku tak mungkin bisa istirahat jika teman-teman datang menjenguk. Kadang-kadang Ibu memang overprotektif, padahal sudah kubilang aku akan baik-baik saja jika dijenguk.
Hingga akhirnya, setelah 40 hari yang membosankan, aku masuk sekolah kembali. Senang sekali membayangkan wajah teman-temanku, mengobrol, dan jalan bareng mereka lagi.
Begitu menginjak kelas, aku langsung memasang senyumku yang paling manis, “hai!” sapaku. Di luar dugaan, anak-anak di kelas membalas sapaanku dengan tatapan aneh. Aku jadi salah tingkah.
“K… kenapa, sih?”tanyaku.
“Enggak,” sahut teman-temanku hampir bareng. Kemudian mereka kembali melakukan aktivitasnya masing-masing. Menyalin pe-er, belajar, mengobrol. Aku berjalan ke tempat dudukku dan meletakkan tasku di sebelah Ifa.
“Eh, di situ tempatnya Ririn. Lo sekarang di belakang sama si gedong,”usir Ifa. Aku ingin protes, tapi Ifa sudah menyambar tasku dan meletakkannya di bangku kosong sebelah Cakra. Cakra yang sedang membaca Donal Bebeknya menoleh sebentar, lalu kembali menikmati bacaannya tak acuh.
“Kenapa musti di sini? Bangku di sebelah Jarot ‘kan kosong, gue duduk di situ aja,deh…”
”Nggak! Mendingan gue duduk sendiri daripada sebangku sama pek-chun kayak elo,”sentak Jarot ketika aku hendak memindahkan tasku.
Pek-chun? pikirku. Aku tidak jadi memindahkan tasku. Dengan pasrah aku duduk di sebelah Cakra. Kupikir Cakra akan mengusirku juga. Ternyata tidak, meskipun dia juga tidak menganggapku ada.
Belakangan aku tahu kalau beredar gosip aku hamil. Katanya aku menggugurkan kandunganku lalu mengalami pendarahan parah sampai harus dirawat di rumah sakit selama sebulan. Gosip yang kejam! Aku sudah mencoba menjelaskan pada semua orang kalau aku bolos sebulan gara-gara terkena thypus. Tapi pengaruh gosip itu sedemikian kuatnya sehingga tak seorangpun percaya padaku.
Sekarang aku sama kesepiannya dengan Cakra. Bedanya aku bukan Cakra yang sama sekali tidak mempedulikan pandangan orang lain terhadap dirinya.
Pada suatu hari, ketika ulangan sosiologi, mendadak bolpoinku macet. Sialnya hari itu aku hanya membawa satu bolpoin. Pinjam? Mana berani? Mana ada yang rela meminjamkan bolpoin pada “pek-chun” seperti aku?
Di luar dugaan, Cakra meletakkan bopoin di sebelah kertasku. Aku menoleh tidak percaya. “Gue boleh pinjam? ”tanyaku berbisik, takut ketahuan guru.
Cakra mengagguk tanpa menoleh kepadaku.
“Makasih,”sahutku sambil tersenyum. Cakra tak seburuk penilaianku. Setidaknya sekarang aku sudah punya teman.
“Cakra, tadi makasih bolpoinnya, ya. Eh, makan bakso, yuk. Gue traktir,” ajakku sepulang sekolah. “Gue banyak kerjaan,”tanggap Cakra dingin.
“Jadi lo juga benci sama gue? Gue kira lo mau jadi teman gue,” ujarku kecewa.
“Gue nggak benci sama lo, tapi kasih pinjam bolpoin kan bukan berarti teman,”kata Cakra.
“Jadi artinya apa?”aku mengerutkan keningku.
“Memangnya semua perbuatan harus ada artinya? Udah, ah, gue harus pulang,” Cakra meninggalkanku yang terbengong-bengong di pintu kelas.
Keesokan harinya, Cakra kembali menjadi si tak acuh. Namun, setiap aku betul-betul butuh bantuan, dia adalah satu-satunya orang yang mau membantuku. Waktu bukuku ketinggalan, dia mau berbagi buku denganku. Waktu kalkulatorku rusak, dia juga yang memperbaiki. Namun, dia melakukan semuanya seperti robot. Datar dan tanpa ekspresi. Aku jadi penasaran. Berkali-kali aku mencoba mengajaknya mengobrol akrab, tapi tak pernah berhasil. Sampai muncul gosip baru. Si pek-chun lagi PDKT ke si gedong.
Meskipun begitu, rasa penasaranku terhadap Cakra lebih besar ketimbang ketakutanku pada gosip yang beredar dengan ganasnya. Aku terus mencoba mengorek keterangan dari si misterius Cakrawala. Sampai pada suatu ketika, buku Cakra tertinggal di kelas. Berkat Ibu Tata Usaha, aku berhasil mendapatkan alamat Cakra. Dengan alasan mengembalikan buku, pulang sekolah aku mendatangi rumah Cakra.
Rumah Cakra lumayan besar dan artistik. Di halamannya ada kolam ikan dengan air mancur patung anjing kencing. Aku memencet bel rumah sembari senyum-senyum melihat air mancur tak lazim itu.
“Selamat siang, Nak, mau cari siapa?” tanya seorang wanita setengah baya yang membukakan pintu dengan ramah.
“Eng…Cakranya ada, Bu?” tanyaku sesopan mungkin. Wanita itu mengerutkan kening sebelum kemudian tersenyum. “Ada di studionya. Masuk saja,”wanita itu mempersilakan.
“Cakra tidak pernah dikunjungi teman. Saya senang sekali ada yang mau berteman dengan dia,”kata wanita itu sembari mengantarku ke loteng. “Nah, Cakra ada di sini,”wanita itu membukakan pintu sebuah ruangan untukku. “Mas Cakra, ini ada temannya,” kata wanita itu. Setelah menyampaikan itu, ia meninggalkanku. Saat aku muncul di pintu, Cakra menatapku dari balik kanvas dengan kaget.
“Ngapain lo?”tanyanya tidak ramah.
“Buku lo ketinggalan. Gue cuma mo nganterin. Lo nggak marah kan?” aku pasang wajah sepolos mungkin.
“Marah, sih, enggak, tapi…”
“Cakra! Elo ternyata suka ngelukis, ya? Ini lukisan lo semua? Keren banget,”aku berjongkok mengamati kanvas-kanvas yang disandarkan di dinding. Cakra tidak menyahut. Dia menatapku dengan tatapan kesal. Akhirnya ia berkomentar, “lo orangnya nekat banget,ya?” Aku nyengir lalu berlutut di sebelah Cakra, mengamati lukisan terbarunya.
“Cakra, lukisan lo keren-keren, asli,” pujiku tulus.
“Makasih. Sekarang lo boleh pulang,” usir Cakra.
“Cak, kenapa, sih, lo enggak mau jadi teman gue? Please kasih tahu alasannya, dong,” pintaku.
Cakra tidak menyahut.
“Gue enggak tahan enggak puyna temen, Cak. Please, jadi teman gue, paling enggak..."
“Nah!” tiba-tiba Cakra membanting kuasnya di hadapanku sampai aku terlonjak kaget, “itu yang bikin gue enggak mau punya teman. Orang yang harus punya teman enggak bisa mandiri. Kalo enggak ada teman, pasti tersiksa. Padahal teman itu kerjanya cuma bikin sakit. Untuk sementara waktu mereka asyik, tapi pada suatu hari mereka bakal bikin lo sakit kayak teman-teman lo sekarang,”ledak Cakra. “Iya, sih,” akuku pelan, "tapi, Cak, elo mau, kan, jadi teman gue? Sehari iniii…aja. Cuma sehari,”pintaku.
Cakra diam.
“Please…,”aku menaikkan alisku.
Luluh juga si gunung es itu, “oke. Sehari, ya. Hari ini aja. Janji besok-besok lo enggak ganggu-ganggu gue lagi!”
Aku melonjak girang mendengar jawaban Cakra. Langsung saja aku berjanji tidak akan mengganggunya lagi besok-besok kalau dia mau menjadi temanku hari itu.
Cakra ternyata sangat menyenangkan. Banyak membaca membuat pengetahuan umumnya luas sekali. Dia sama sekali tidak nampak bego dan cacat mental seperti gosipnya. Dia juga enak diajak mengobrol, punya prinsip, dan berbakat seni.
“Tahu, enggak, Cak, punya teman, tuh, asyik. Ada yang bisa dijadiin tempat curhat. Elo tuh benernya anakanya asyik. Gue percaya kalau mau lo bisa punya teman lebih banyak daripada gue,” kataku.
“Buat apa? Gue bisa curhat ke kanvas, kok. Lagian kalau lo biasa sendiri kayak gue, lo lebih survive, tahu enggak? Enggak banyak masalah,” sahut Cakra.
Aku mengerutkan keningku tidak setuju.
“Lihat buktinya, yang lebih banyak masalah elo apa gue?” tanya Cakra.
Aku tidak bisa menjawab. Cakra menggigit kuasnya. Ia melepas kaca matanya untuk mengelap debu di lensanya, namun tak sengaja tangannya mematahkan tangkai kacamata. Cakra tampak kesal, namun tidak berkata apa-apa. Ia memilih meletakkan kacamatanya di bawah kanvas dan lanjut melukis.
Ketika Cakra menunduk, poni gondrongnya jatuh menutupi mata. Terpaksa Cakra menyibakannya dulu. Aku mengamati Cakra yang tampak seperti orang lain tanpa kacamata lebarnya. Cakra punya sepasang mata gelap dengan sorot tajam dan alis tebal. Ketika melukis dengan ekspresi serius, dia sama sekali tidak nampak gedong seperti biasanya.
“Lo keren, tahu,” ungkapku terus terang.
“Oh, ya? Terima kasih,”sahut Cakra tanpa menoleh padaku.
“Eh, Cak, gue mau tanya. Kenapa, sih, umur 18 tahun elo baru kelas dua SMU? Terus, memang elo pernah di D.O dari sekolah saking begonya, ya?” tanyaku polos.
“HUAHAHAHA!” Cakra tertawa meledak, “kata Ifa, ya? Dasar tukang sebar isu. Bukan. Sama sekali bukan. Gue telat masuk sekolah. Umur lima setengah tahun, gue baru masuk TK. Terus pas umur delapan, gue demam tinggi, hampir meninggal. Akhirnya, sih, gue bisa sembuh, tapi mata kanan gue jadi cacat, makanya gue harus pake kacamata setebal pantat botol. Akibat sakit sebulan itu, gue jadi nggak naik kelas, berarti gue boros umur dua setengah tahun,” jelas Cakra.
“Kenapa elo enggak coba cerita ke anak-anak? Kalau tahu kenapa lo jadi ‘manula’ di kelas, mereka enggak akan punya persepsi yang enggak-enggak,”kataku.
“Ah, buat apa? Mereka boleh anggap gue apa pun, yang penting, kan, gue enggak kayak begitu,”tanggap Cakra cuek.
“Gue bingung, deh, sama lo. Lo cuek banget, sih?” komentarku.
“Sesuai sama nama gue, gue itu seperti Cakrawala. Bukan langit dan bukan air, tapi gue ada di antara keduanya, enggak akan kepengaruh sama apa yang terjadi di langit atau di air,” sahut Cakra. Aku terkagum-kagum pada filosofinya. “Heh, sudah jam enam lewat, nih. Lo mau pulang, enggak? Sini gue anter. Setelah nyelotip tangkai kacamata, gue antar lo pulang biar lo enggak dicari-cari orangtua,” Cakra menarik lengan kemejaku.
Sebetulnya aku ingin berteman dengan Cakra sampai seterusnya, tapi Cakra tidak mau.
“Lo nggak percaya sama gue, ya?”tanyaku ketika Cakra menolak menjadi temanku.
“Enggak,”sahut Cakra terus terang.
“Gue enggak akan ngegosipin elo, kok. Gue bakal jadi sahabat yang baik,”janjiku.
“Dulu Ifa bilang begitu juga, enggak, sama lo?” tanggap Cakra.
Aku menggigit bibirku.
Beberapa saat kemudian, motor Cakra sampai di depan gerbang rumahku. “Udah, ya. Mulai besok gue bukan teman lo lagi,” Cakra memperingatkan sebelum betul-betul meninggalkan rumahku. Dengan berat aku mengangguk.
“Ssst…lihat si Cakra, deh. Bodi gede kayak gitu bacaannya Donal Bebek,” Ifa teman sebangkuku menyikutku. Aku yang sedang makan kripik pedas menoleh sebentar ke bangku paling belakang tempat Cakrawala, murid paling aneh di sekolah kami duduk.
“Ah, dia mah memang aneh,” tanggapku tidak heran.
“Gue sebel, lho, sama dia. Sok keren!”cerocos Ifa.
“Huahahaha,” tiba-tiba tawa Cakra meledak. Nasi di mulutnya melompat keluar. Dengan cuek Cakra mengumpulkan nasi-nasi yang berserakan di mejanya dan membuangnya ke tempat sampah. Dia sama sekali tidak peduli pada anak-anak di kelas yang menatapnya heran dan sebal.
“Kan, lihat saja. Itu anak enggak punya kepekaan sosial sama sekali. Gue tau Donal Bebek ceritanya suka lucu. Tapi dia. kan, enggak usah begitu-begitu amat,”komentar Ifa sengit. Aku menanggapinya dengan anggukan setuju.
Cakrawala memang aneh. Dia tidak pernah punya teman. Setiap hari ia membawa termos air dan bekal ke sekolah. Rambutnya agak gondrong dan berantakan, badannya tinggi besar, tetapi kacamata selebar tatakan gelas yang setiap hari bertengger di hidungnya membuat dia berkesan gedong… gede dongo. Katanya Cakra sudah “tua”. Umurnya sudah 18 tahun, tapi masih duduk di kelas dua SMU.
Aku, dan mungkin juga semua anak di SMU kami, tidak suka pada Cakra. Anehnya kelihatannya Cakra tidak peduli dibenci siapapun. Dia terlalu mandiri dan angkuh.
Aku sendiri punya teman-teman yang menyenangkan. Aku tak akan tahan menjadi sesendiri Cakra.
“Cakra, kan rada kurang satu strip. Makanya bisa enggak naik kelas tiga kali,”kata Ifa lagi.
“Oh, ya?”tanyaku.
“He-eh. Malah dia pernah di D.O saking begonya,” lanjut Ifa penuh semangat.
Aku mengangguk-angguk.
Dua minggu kemudian aku divonis terkena thypus. Terpaksa aku istirahat di rumah selama sebulan lebih. Sengaja perihal sakitku tidak dikabarkan ke teman-teman, soalnya menurut Ibu, aku tak mungkin bisa istirahat jika teman-teman datang menjenguk. Kadang-kadang Ibu memang overprotektif, padahal sudah kubilang aku akan baik-baik saja jika dijenguk.
Hingga akhirnya, setelah 40 hari yang membosankan, aku masuk sekolah kembali. Senang sekali membayangkan wajah teman-temanku, mengobrol, dan jalan bareng mereka lagi.
Begitu menginjak kelas, aku langsung memasang senyumku yang paling manis, “hai!” sapaku. Di luar dugaan, anak-anak di kelas membalas sapaanku dengan tatapan aneh. Aku jadi salah tingkah.
“K… kenapa, sih?”tanyaku.
“Enggak,” sahut teman-temanku hampir bareng. Kemudian mereka kembali melakukan aktivitasnya masing-masing. Menyalin pe-er, belajar, mengobrol. Aku berjalan ke tempat dudukku dan meletakkan tasku di sebelah Ifa.
“Eh, di situ tempatnya Ririn. Lo sekarang di belakang sama si gedong,”usir Ifa. Aku ingin protes, tapi Ifa sudah menyambar tasku dan meletakkannya di bangku kosong sebelah Cakra. Cakra yang sedang membaca Donal Bebeknya menoleh sebentar, lalu kembali menikmati bacaannya tak acuh.
“Kenapa musti di sini? Bangku di sebelah Jarot ‘kan kosong, gue duduk di situ aja,deh…”
”Nggak! Mendingan gue duduk sendiri daripada sebangku sama pek-chun kayak elo,”sentak Jarot ketika aku hendak memindahkan tasku.
Pek-chun? pikirku. Aku tidak jadi memindahkan tasku. Dengan pasrah aku duduk di sebelah Cakra. Kupikir Cakra akan mengusirku juga. Ternyata tidak, meskipun dia juga tidak menganggapku ada.
Belakangan aku tahu kalau beredar gosip aku hamil. Katanya aku menggugurkan kandunganku lalu mengalami pendarahan parah sampai harus dirawat di rumah sakit selama sebulan. Gosip yang kejam! Aku sudah mencoba menjelaskan pada semua orang kalau aku bolos sebulan gara-gara terkena thypus. Tapi pengaruh gosip itu sedemikian kuatnya sehingga tak seorangpun percaya padaku.
Sekarang aku sama kesepiannya dengan Cakra. Bedanya aku bukan Cakra yang sama sekali tidak mempedulikan pandangan orang lain terhadap dirinya.
Pada suatu hari, ketika ulangan sosiologi, mendadak bolpoinku macet. Sialnya hari itu aku hanya membawa satu bolpoin. Pinjam? Mana berani? Mana ada yang rela meminjamkan bolpoin pada “pek-chun” seperti aku?
Di luar dugaan, Cakra meletakkan bopoin di sebelah kertasku. Aku menoleh tidak percaya. “Gue boleh pinjam? ”tanyaku berbisik, takut ketahuan guru.
Cakra mengagguk tanpa menoleh kepadaku.
“Makasih,”sahutku sambil tersenyum. Cakra tak seburuk penilaianku. Setidaknya sekarang aku sudah punya teman.
“Cakra, tadi makasih bolpoinnya, ya. Eh, makan bakso, yuk. Gue traktir,” ajakku sepulang sekolah. “Gue banyak kerjaan,”tanggap Cakra dingin.
“Jadi lo juga benci sama gue? Gue kira lo mau jadi teman gue,” ujarku kecewa.
“Gue nggak benci sama lo, tapi kasih pinjam bolpoin kan bukan berarti teman,”kata Cakra.
“Jadi artinya apa?”aku mengerutkan keningku.
“Memangnya semua perbuatan harus ada artinya? Udah, ah, gue harus pulang,” Cakra meninggalkanku yang terbengong-bengong di pintu kelas.
Keesokan harinya, Cakra kembali menjadi si tak acuh. Namun, setiap aku betul-betul butuh bantuan, dia adalah satu-satunya orang yang mau membantuku. Waktu bukuku ketinggalan, dia mau berbagi buku denganku. Waktu kalkulatorku rusak, dia juga yang memperbaiki. Namun, dia melakukan semuanya seperti robot. Datar dan tanpa ekspresi. Aku jadi penasaran. Berkali-kali aku mencoba mengajaknya mengobrol akrab, tapi tak pernah berhasil. Sampai muncul gosip baru. Si pek-chun lagi PDKT ke si gedong.
Meskipun begitu, rasa penasaranku terhadap Cakra lebih besar ketimbang ketakutanku pada gosip yang beredar dengan ganasnya. Aku terus mencoba mengorek keterangan dari si misterius Cakrawala. Sampai pada suatu ketika, buku Cakra tertinggal di kelas. Berkat Ibu Tata Usaha, aku berhasil mendapatkan alamat Cakra. Dengan alasan mengembalikan buku, pulang sekolah aku mendatangi rumah Cakra.
Rumah Cakra lumayan besar dan artistik. Di halamannya ada kolam ikan dengan air mancur patung anjing kencing. Aku memencet bel rumah sembari senyum-senyum melihat air mancur tak lazim itu.
“Selamat siang, Nak, mau cari siapa?” tanya seorang wanita setengah baya yang membukakan pintu dengan ramah.
“Eng…Cakranya ada, Bu?” tanyaku sesopan mungkin. Wanita itu mengerutkan kening sebelum kemudian tersenyum. “Ada di studionya. Masuk saja,”wanita itu mempersilakan.
“Cakra tidak pernah dikunjungi teman. Saya senang sekali ada yang mau berteman dengan dia,”kata wanita itu sembari mengantarku ke loteng. “Nah, Cakra ada di sini,”wanita itu membukakan pintu sebuah ruangan untukku. “Mas Cakra, ini ada temannya,” kata wanita itu. Setelah menyampaikan itu, ia meninggalkanku. Saat aku muncul di pintu, Cakra menatapku dari balik kanvas dengan kaget.
“Ngapain lo?”tanyanya tidak ramah.
“Buku lo ketinggalan. Gue cuma mo nganterin. Lo nggak marah kan?” aku pasang wajah sepolos mungkin.
“Marah, sih, enggak, tapi…”
“Cakra! Elo ternyata suka ngelukis, ya? Ini lukisan lo semua? Keren banget,”aku berjongkok mengamati kanvas-kanvas yang disandarkan di dinding. Cakra tidak menyahut. Dia menatapku dengan tatapan kesal. Akhirnya ia berkomentar, “lo orangnya nekat banget,ya?” Aku nyengir lalu berlutut di sebelah Cakra, mengamati lukisan terbarunya.
“Cakra, lukisan lo keren-keren, asli,” pujiku tulus.
“Makasih. Sekarang lo boleh pulang,” usir Cakra.
“Cak, kenapa, sih, lo enggak mau jadi teman gue? Please kasih tahu alasannya, dong,” pintaku.
Cakra tidak menyahut.
“Gue enggak tahan enggak puyna temen, Cak. Please, jadi teman gue, paling enggak..."
“Nah!” tiba-tiba Cakra membanting kuasnya di hadapanku sampai aku terlonjak kaget, “itu yang bikin gue enggak mau punya teman. Orang yang harus punya teman enggak bisa mandiri. Kalo enggak ada teman, pasti tersiksa. Padahal teman itu kerjanya cuma bikin sakit. Untuk sementara waktu mereka asyik, tapi pada suatu hari mereka bakal bikin lo sakit kayak teman-teman lo sekarang,”ledak Cakra. “Iya, sih,” akuku pelan, "tapi, Cak, elo mau, kan, jadi teman gue? Sehari iniii…aja. Cuma sehari,”pintaku.
Cakra diam.
“Please…,”aku menaikkan alisku.
Luluh juga si gunung es itu, “oke. Sehari, ya. Hari ini aja. Janji besok-besok lo enggak ganggu-ganggu gue lagi!”
Aku melonjak girang mendengar jawaban Cakra. Langsung saja aku berjanji tidak akan mengganggunya lagi besok-besok kalau dia mau menjadi temanku hari itu.
Cakra ternyata sangat menyenangkan. Banyak membaca membuat pengetahuan umumnya luas sekali. Dia sama sekali tidak nampak bego dan cacat mental seperti gosipnya. Dia juga enak diajak mengobrol, punya prinsip, dan berbakat seni.
“Tahu, enggak, Cak, punya teman, tuh, asyik. Ada yang bisa dijadiin tempat curhat. Elo tuh benernya anakanya asyik. Gue percaya kalau mau lo bisa punya teman lebih banyak daripada gue,” kataku.
“Buat apa? Gue bisa curhat ke kanvas, kok. Lagian kalau lo biasa sendiri kayak gue, lo lebih survive, tahu enggak? Enggak banyak masalah,” sahut Cakra.
Aku mengerutkan keningku tidak setuju.
“Lihat buktinya, yang lebih banyak masalah elo apa gue?” tanya Cakra.
Aku tidak bisa menjawab. Cakra menggigit kuasnya. Ia melepas kaca matanya untuk mengelap debu di lensanya, namun tak sengaja tangannya mematahkan tangkai kacamata. Cakra tampak kesal, namun tidak berkata apa-apa. Ia memilih meletakkan kacamatanya di bawah kanvas dan lanjut melukis.
Ketika Cakra menunduk, poni gondrongnya jatuh menutupi mata. Terpaksa Cakra menyibakannya dulu. Aku mengamati Cakra yang tampak seperti orang lain tanpa kacamata lebarnya. Cakra punya sepasang mata gelap dengan sorot tajam dan alis tebal. Ketika melukis dengan ekspresi serius, dia sama sekali tidak nampak gedong seperti biasanya.
“Lo keren, tahu,” ungkapku terus terang.
“Oh, ya? Terima kasih,”sahut Cakra tanpa menoleh padaku.
“Eh, Cak, gue mau tanya. Kenapa, sih, umur 18 tahun elo baru kelas dua SMU? Terus, memang elo pernah di D.O dari sekolah saking begonya, ya?” tanyaku polos.
“HUAHAHAHA!” Cakra tertawa meledak, “kata Ifa, ya? Dasar tukang sebar isu. Bukan. Sama sekali bukan. Gue telat masuk sekolah. Umur lima setengah tahun, gue baru masuk TK. Terus pas umur delapan, gue demam tinggi, hampir meninggal. Akhirnya, sih, gue bisa sembuh, tapi mata kanan gue jadi cacat, makanya gue harus pake kacamata setebal pantat botol. Akibat sakit sebulan itu, gue jadi nggak naik kelas, berarti gue boros umur dua setengah tahun,” jelas Cakra.
“Kenapa elo enggak coba cerita ke anak-anak? Kalau tahu kenapa lo jadi ‘manula’ di kelas, mereka enggak akan punya persepsi yang enggak-enggak,”kataku.
“Ah, buat apa? Mereka boleh anggap gue apa pun, yang penting, kan, gue enggak kayak begitu,”tanggap Cakra cuek.
“Gue bingung, deh, sama lo. Lo cuek banget, sih?” komentarku.
“Sesuai sama nama gue, gue itu seperti Cakrawala. Bukan langit dan bukan air, tapi gue ada di antara keduanya, enggak akan kepengaruh sama apa yang terjadi di langit atau di air,” sahut Cakra. Aku terkagum-kagum pada filosofinya. “Heh, sudah jam enam lewat, nih. Lo mau pulang, enggak? Sini gue anter. Setelah nyelotip tangkai kacamata, gue antar lo pulang biar lo enggak dicari-cari orangtua,” Cakra menarik lengan kemejaku.
Sebetulnya aku ingin berteman dengan Cakra sampai seterusnya, tapi Cakra tidak mau.
“Lo nggak percaya sama gue, ya?”tanyaku ketika Cakra menolak menjadi temanku.
“Enggak,”sahut Cakra terus terang.
“Gue enggak akan ngegosipin elo, kok. Gue bakal jadi sahabat yang baik,”janjiku.
“Dulu Ifa bilang begitu juga, enggak, sama lo?” tanggap Cakra.
Aku menggigit bibirku.
Beberapa saat kemudian, motor Cakra sampai di depan gerbang rumahku. “Udah, ya. Mulai besok gue bukan teman lo lagi,” Cakra memperingatkan sebelum betul-betul meninggalkan rumahku. Dengan berat aku mengangguk.
***
Beberapa waktu kemudian, teman-temanku tahu kalau aku benar-benar sakit thypus. Mereka juga tahu kalau Ifalah yang menyebarkan gosip jahat tentang hamilku. Sekarang gantian Ifa yang dikucilkan dan didudukkan di sebelah Cakra.
Sama seperti padaku, Cakra baik tetapi dingin terhadap Ifa. Namun, Ifa bukan aku yang berusaha mencari tahu rahasia dibalik sikap aneh Cakra.
Sampai saat ini aku masih belum mengerti. Mana yang lebih baik. Sendirian tapi tidak punya banyak masalah seperti Cakra, atau punya banyak teman dengan konsekuensi siap menghadapi benturan-benturan dalam masyarakat seperti Ifa dan aku.
Komentar
Posting Komentar